Sistem Pendidikan Kita Belum Siap Daring Kok Dipaksa Daring?
Sistem pendidikan kita belum siap DARING, Kok dipaksa daring?
Latah, ketika wabah pandemi COVID-19 melanda, dan semua harus menjaga jarak satu dengan lainnya, bekerja harus dari rumah saja pun demikian dengan belajar.
Semua murid-murid di berbagai tingkat pendidikan terpaksa dirumahkan karena khawatir akan penyebaran virus yang akan semakin tak terkendali.
Para guru harus dipersiapkan untuk bisa mengajar secara online, harus download aplikasi-aplikasi yang dulunya jangankan fungsinya, namanya aja baru tahu.
Mari kita mikir sejenak, platform online digadang-gadang bak angin surga dan oase di tengah gurun. Tapi apakah benar begitu?
Yuk kita ulas satu per satu sambil menyeruput kopi atau nunggu istri selesai memasak makanan.
Disclaimer dulu: ini hanya opini, no offense, saya hanya ingin mengajak untuk sama-sama mikir dan belajar.
Dulu, sebelum wabah pandemi ini melanda, apakah mereka para pemangku hajat khususnya di bidang pendidikan sudah memikirkan sistem pembelajaran online?
Sudah?
Alhamdulillah, jika jawabannya sudah. Saya sangat bersyukur dan memang harusnya begitu.
Atau belum?
Nah, ini gawatnya!
Alih-alih mencerdaskan bangsa, eh jangan-jangan kita malah membuat bingung para siswa dan orang tua, tak pelak ini malah menimbulkan polemik baru ketika banyak orang tua siswa malah mengeluhkan banyaknya tugas yang dibebankan kepada anaknya, sehingga tersiar kabar bahwa kini akan diubah tidak ada kegiatan akademik selama dirumahkan.
Lantas, dengan digantikannya hanya laporan pembiasan kegiatan sehari-hari akan juga turut mencerdaskan kehidupan bangsa dari ketertinggalan atau malah setelah pandemi berlalu, siswa-siswa malah menjadi seperti manusia yang baru keluar dari goa?
Lanjut, kesimpangsiuran akan sistem pendidikan yang awalnya konvensional tatap muka dan memakai metode ceramah harus diganti dengan platform online yang membuat tak hanya muridnya tetapi juga gurunya menjadi kikuk untuk mengajar menggunakan gawai dan aplikasi terpasang di dalamnya membuat kesemrawutan baru.
Guru-guru muda mungkin akan cepat adaptasi, namun bagaimana dengan guru-guru veteran yang sudah lama mendedikasikan hidupnya untuk mendidik yang tak terbiasa menggunakan gawai dalam pengajarannya?
Atau jangan-jangan hanya sekedar gugur kewajiban saja, namun esensi utama mengajar yang sesungguhnya justru hilang?
Terus harus gimana dong?
Apa yang harus dilakukan dan yang mesti diprioritaskan?
Toh, pada akhirnya, kendatipun kita menyalahkan pihak pemangku maupun pelaksanaan keduanya tak akan menemukan titik tengah, karena memang keadaan yang memaksa.
Yang harus kita sadari bersama adalah bahwa pendidikan itu tak terbatas.
Iye benar tak terbatas.
Ketika kita membuat sekat akan pendidikan, disitulah letak kemandegan pendidikan tersebut.
Ini bukan tentang siapa yang salah, tapi tentang kesadaran kita bersama bahwa pendidikan itu luas, tak tersekat oleh ruang kelas, guru, alat, media pengajaran dan buku-buku cetak saja.
Melainkan, kemampuan kita untuk "melek" melihat luasnya cara belajar, memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber, dan terus berpikir yang tak terikat oleh jenjang dan waktu adalah pendidikan yang sesungguhnya.
Setiap kita memiliki kewajiban untuk terus belajar bukan untuk menuntut terus diajari.
Para siswa juga, jangan manja, jangan berleha-leha di saat dirumahkan seperti ini, jangan hanya menatap gawai dan menonton yang tidak jelas. Asah kreativitas kalian, kalian adalah kepompong yang disiapkan untuk menjadi kupu-kupu indah dan diharapkan bisa terbang tinggi menggapai semua mimpi kalian.
Para orangtua, kewajiban untuk mendidik bukanlah semata tugas guru, melainkan tanggungjawab bersama orangtua juga.
Berikanlah contoh dan teladan kepada mereka, setidaknya agar tidak meludah saat berkendara adalah pelajaran akhlak terbaik, bukan tentang nilai rapor yang selalu di atas rata-rata yang selalu kalian banggakan yang hanya akan menjadi bahan perbincangan guna dipamerkan ke kerabat kalian. Itu terlalu rendah.
Para guru, usia bukanlah alasan untuk berhenti belajar, bukalah setiap jendela baru, jangan kau selalu elu-elukan pengalaman mu selama 20 tahun mengajar, karena ketertinggalan akibat perubahan itu sangat menyakitkan. Tanyakan pada yang muda jika masih belum sanggup memahami.
Dan yang muda, jangan terlalu idealis dengan pemikiran kalian, kalian akan mudah patah ketika dihadapkan kepada sesuatu yang keras, sudah bukan jamannya lagi bekerja sendiri-sendiri, ini saatnya untuk kolaborasi.
Para pemangku hajat, sudah saatnya birokrasi berbelit dihapuskan, teruslah lentur dengan setiap perubahan dan bukan jamannya lagi penentuan kelulusan hanya berbasiskan angka, lihat potensi setiap siswa, biarkan mereka berkreasi tanpa harus takut dengan standarisasi angka-angka.
Libatkan pula para milenial kreatif untuk mengisi di beberapa bidang strategis di dinas kependidikan agar tercipta sesuatu terobosan yang mungkin dikira aneh pada saat tak butuhkan namun justru membawa manfaat besar.
Akhirnya, setiap kita memiliki tanggung jawab yang tidaklah kecil, mari ambil setiap porsi tanggungjawab masing-masing tanpa mengecilkan setiap peranan di semua lini, agar apa?
Agar kelak nanti bisa kita wariskan solidaritas kita dalam menciptakan perubahan, walaupun itu kecil.
Terimakasih sudah membaca status kegabutan saya.
Post a Comment for "Sistem Pendidikan Kita Belum Siap Daring Kok Dipaksa Daring?"